Di era digital yang serba cepat ini, dunia pendidikan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Salah satu yang paling krusial adalah rendahnya minat baca anak-anak dan lemahnya kemampuan literasi serta numerasi siswa sekolah dasar. Hasil Program for International Student Assessment (PISA) 2022 diumumkan pada 5 Desember 2023, dan Indonesia berada di peringkat 68 dari 81 negara yang berpartisipasi (Deby, 2025).
Hasil tes
PISA ini yang menjadi landasan pemerintah untuk mengukur sejauh mana
keberhasilan pendidikan nasional (Bangsawan, 2024). Hasil penilaian tersebut menunjukkan
bahwa Indonesia masih berada di bawah rata-rata dalam kemampuan membaca,
literasi sains, dan numerasi. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai
faktor. Salah satunya adalah dominasi penggunaan gawai yang kurang terarah.
Anak-anak kita sekarang lebih akrab dengan konten hiburan dan permainan digital,
ketimbang membaca buku atau mengasah kemampuan berhitung (Ulfah, 2020). Sementara
itu, banyak bahan bacaan yang
tersedia masih kurang menarik dan kontekstual bagi dunia anak (Kayati &
Alami, 2024).
Sebagai
guru sekolah dasar, saya merasa prihatin. Setiap hari saya menyaksikan
bagaimana banyak siswa lebih bersemangat membuka game di ponsel dibandingkan
membuka halaman buku bacaan. Namun di sisi lain, saya juga percaya bahwa budaya
lokal dan teknologi modern sebenarnya bisa berjalan beriringan. Keduanya, jika
disinergikan dengan baik, justru dapat menghadirkan inovasi pembelajaran yang
bermakna, menyenangkan, dan membumi. Berangkat dari kegelisahan itulah saya
mulai merancang sebuah buku literasi dan numerasi yang tidak biasa, sebuah buku
yang tidak hanya memuat cerita dan soal, tetapi juga membawa semangat lokalitas
dan sentuhan teknologi terkini. Saya memadukan kearifan lokal dengan teknologi Augmented
Reality (AR) agar anak-anak bisa berinteraksi secara visual dan imersif
dengan isi buku. Tujuannya agar pengalaman membaca dan belajar menjadi lebih
menarik, menyenangkan, dan membekas.
Minat baca
adalah fondasi penting bagi perkembangan intelektual dan emosional anak.
Sayangnya, berbagai studi menunjukkan bahwa minat baca anak-anak Indonesia
masih tergolong rendah. Sebuah survei dari UNESCO bahkan menyebutkan bahwa
tingkat minat baca di Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari 1.000 orang, hanya
satu yang gemar membaca (Amrulloh,
2022). Rendahnya minat baca ini tentu berdampak langsung pada
kemampuan memahami bacaan. Banyak anak yang membaca hanya demi menyelesaikan
bacaan, bukan untuk memahami isi atau menarik kesimpulan (Fahrozy, 2023). Padahal,
literasi bukan hanya kemampuan membaca, tetapi juga memahami informasi,
mengolah makna, hingga mampu menggunakannya untuk menyelesaikan masalah dalam
kehidupan sehari-hari (Masfufah
& Afriansyah, 2021).
Hal serupa
juga terjadi pada kemampuan numerasi. Tidak sedikit siswa yang mampu
mengerjakan soal matematika dalam bentuk kalimat matematis, tetapi kesulitan
ketika mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Mereka mungkin bisa
menghitung hasil penjumlahan, tapi kesulitan menerapkannya untuk menghitung
kembalian, menimbang bahan makanan, atau membandingkan harga. Padahal numerasi
bukan hanya soal hitung-hitungan, melainkan kemampuan berpikir logis,
menganalisis data, dan mengambil keputusan berdasarkan angka (Ekowati & Suwandayani, 2018).
Di tengah segala keterbatasan yang ada, saya percaya bahwa guru memiliki peran yang sangat strategis. Guru bukan hanya penyampai materi, melainkan juga fasilitator, inovator, dan penggerak perubahan. Justru di tengah kondisi pendidikan yang belum ideal, guru dapat menciptakan ruang-ruang belajar yang lebih kontekstual dan membumi, sesuai dengan kebutuhan dan realitas siswa. Sebagai guru yang tumbuh dalam lingkungan budaya lokal dan kini berada pada masa arus digital yang berkembang pesat, saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjembatani keduanya. Saya ingin mengenalkan kembali kepada anak-anak kekayaan tradisi lokal yang penuh makna, sambil mengajak mereka mengenal teknologi secara bijak. Tujuannya sederhana, agar mereka bisa belajar dengan gembira dengan tetap mengenal dan mencintai budaya mereka sendiri.
Buku yang
saya rancang ini merupakan perpaduan antara kekuatan cerita rakyat, kearifan
lokal, dan kecanggihan teknologi AR. Di dalam buku ini terdapat kisah-kisah
tentang petani yang membagi hasil panen, nelayan yang mengatur waktu melaut,
dan pedagang pasar tradisional yang jujur. Semua ini menjadi latar kontekstual
untuk melatih keterampilan membaca, menulis, serta berhitung. Buku literasi dan
numerasi ini dirancang untuk mengenalkan anak-anak pada keterampilan membaca,
menulis, serta berhitung melalui muatan lokal khas Jawa Tengah khususnya tempat
saya mengajar yaitu Kabupaten Pekalongan. Dengan mengintegrasikan aspek
sejarah, adat-istiadat, kebiasaan, dan karya seni lokal, buku ini memberikan
konteks yang kaya dan relevan bagi anak-anak untuk belajar.
Bagian
literasi buku ini mencakup cerita rakyat, seperti asal-usul nama daerah,
pengenalan budaya, serta tokoh-tokoh inspiratif dari daerah tersebut. Anak-anak
akan diperkenalkan pada kekayaan bahasa lokal melalui cerita-cerita ini,
sehingga membantu mereka menghargai dan melestarikan bahasa serta nilai-nilai
budaya. Sementara itu, bagian numerasi dirancang dengan soal-soal dan aktivitas
berhitung yang terinspirasi dari aktivitas sehari-hari masyarakat Pekalongan,
seperti menghitung jumlah hasil panen, menghitung kain batik yang dijual,
hingga menghitung langkah-langkah dalam proses pembuatan batik. Kegiatan
berhitung ini tidak hanya melatih keterampilan numerik, tetapi juga memberikan
pemahaman mengenai proses dan nilai di balik tradisi lokal. Selain itu, buku
ini memperkenalkan seni dan adat-istiadat, seperti tata cara upacara adat,
musik tradisional, serta jenis-jenis batik khas Pekalongan. Dengan ilustrasi
menarik dan cerita yang menggugah, buku ini diharapkan dapat meningkatkan minat
belajar anak, sekaligus membangkitkan rasa cinta pada budaya dan kearifan lokal
yang ada di sekitar mereka.
Lebih dari
sekadar membaca, buku ini juga mendorong anak-anak untuk menulis dan berbicara.
Saya menyisipkan aktivitas literasi bertema komunikasi dua arah untuk melatih
keterampilan menyampaikan gagasan secara lisan dan tulisan. Misalnya, setelah
membaca cerita tentang tokoh lokal yang jujur, anak-anak diminta untuk
menuliskan ulang cerita tersebut dari sudut pandang berbeda, lalu
mempresentasikannya di depan teman-temannya. Ada juga kegiatan membuat surat
atau pesan suara untuk tokoh dalam cerita, berdiskusi kelompok tentang
nilai-nilai yang terkandung, atau bermain peran menjadi tokoh dalam kisah. Aktivitas-aktivitas
ini dirancang tidak hanya untuk mengasah kemampuan menulis naratif dan
deskriptif, tetapi juga untuk membangun kepercayaan diri, kemampuan
menyampaikan pendapat, dan keterampilan berbicara yang terstruktur dan
bermakna. Di sinilah letak pentingnya menggabungkan keterampilan membaca,
menulis, dan berbicara agar anak tidak hanya paham isi bacaan, tetapi juga
mampu mengungkapkan pemahaman tersebut dengan kata-katanya sendiri.
Agar lebih
menarik dan adaptif dengan perkembangan zaman, buku ini dilengkapi dengan fitur
AR yang dapat diakses menggunakan gawai. Ketika anak-anak memindai halaman
tertentu, akan muncul gambar tiga dimensi dan suara narasi yang berkaitan
dengan konten bacaan. Ini bukan sekadar gimmick, melainkan cara agar bacaan
menjadi lebih hidup dan bermakna. Teknologi AR menjembatani kesenjangan antara
dunia bacaan yang abstrak dengan imajinasi anak-anak. Ketika tokoh cerita
muncul di layar dan bergerak, anak-anak merasa lebih terhubung secara emosional
dan kognitif dengan isi cerita. Visualisasi ini juga sangat membantu bagi siswa
yang kesulitan membaca secara konvensional, terutama mereka yang memiliki gaya
belajar visual dan kinestetik (Sumatraputra,
Tapanuli & Maringgita, 2023).
Seiring
perkembangan teknologi, khususnya di era digital, dunia pendidikan dituntut
untuk menghadirkan inovasi yang mampu menjawab tantangan pembelajaran abad
ke-21. Salah satu teknologi yang dinilai potensial adalah augmented reality
(AR). Teknologi ini memungkinkan pengguna untuk melihat dan berinteraksi dengan
objek virtual 3D yang diproyeksikan ke dunia nyata melalui perangkat digital,
sehingga konsep-konsep abstrak dapat divisualisasikan secara konkret dan
realistis. Penggunaan AR dalam pembelajaran juga didukung oleh teori
perkembangan kognitif Piaget, yang menyatakan bahwa siswa sekolah dasar berada
pada tahap operasional konkret dan membutuhkan representasi visual nyata dalam
memahami konsep. Selain itu, teori behavioristik menekankan pentingnya stimulus
visual dan auditif dalam membentuk respons belajar. AR dapat memberikan
stimulus melalui animasi bergerak, warna menarik, dan suara penjelasan, yang
mampu meningkatkan perhatian, pemahaman, dan retensi siswa terhadap materi. Anak-anak
yang awalnya enggan membaca justru tertarik karena penasaran dengan apa yang
akan muncul jika mereka membuka halaman berikutnya. Mereka merasa seperti
menemukan “kejutan” di balik setiap cerita, dan rasa penasaran itulah yang
ingin saya bangkitkan.
Bagi saya, buku ini bukan hanya pendamping belajar,
melainkan pengalaman belajar. Dengan menggabungkan cerita lokal, aktivitas
menulis kreatif, dan teknologi AR, saya ingin menghadirkan proses belajar yang
menyenangkan, membumi, dan memberdayakan. Anak-anak tidak hanya membaca dan
menjawab soal, tetapi juga mengalami, merasakan, dan merefleksikan isi bacaan. Buku
berbasis augmented reality memiliki sejumlah keunggulan, dengan fitur
visualisasi 3D yang interaktif dapat meningkatkan daya tangkap dan ingatan siswa
terhadap konsep yang dipelajari. Keunggulan bahan ajar ini sejalan dengan teori
perkembangan kognitif Jean Piaget, yang menyatakan bahwa siswa sekolah dasar
berada pada tahap operasional konkret, di mana mereka mulai mampu berpikir
logis, tetapi masih sangat bergantung pada objek nyata atau visualisasi konkret
dalam memahami konsep abstrak. Melalui AR, siswa tidak hanya mendengar dan
membaca, tetapi juga dapat melihat dan berinteraksi dengan representasi nyata
dari objek-objek pembelajaran, yang sesuai dengan karakteristik berpikir
konkret.
Selain itu, jika dikaitkan dengan teori Behavioristik,
penggunaan AR memberikan stimulus visual dan auditif yang kuat kepada siswa,
seperti warna menarik, animasi bergerak, dan suara penjelasan. Stimulus ini
akan menarik perhatian siswa, membentuk asosiasi antara rangsangan dan materi
yang dipelajari, dan memunculkan respons positif berupa peningkatan pemahaman
dan motivasi belajar. Hal ini menunjukkan bahwa media AR efektif digunakan
sebagai penguat (reinforcement) dalam proses pembelajaran. Penggunaan
teknologi augmented reality dalam konteks pendidikan menawarkan berbagai
peluang baru dalam proses pembelajaran. Pembelajaran interaktif, yang
menekankan pada keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, menjadi lebih
memikat dan bermakna dengan adanya
elemen AR. Melalui
visualisasi yang realistis,
simulasinya yang interaktif,
dan pengalaman langsung yang diberikan oleh AR, siswa dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang
konsep-konsep yang kompleks (Indahsari & Sumirat, 2023).
Saya meyakini
bahwa buku ini bukan sekadar media belajar, melainkan awal dari gerakan
literasi dan numerasi yang diterapkan pada budaya lokal dan berorientasi pada
masa depan melalui pemanfaatan teknologi. Selanjutnya, saya berkomitmen untuk
mengembangkan seri-seri buku serupa yang selaras dengan tema-tema pembelajaran
di kurikulum sekolah dasar, termasuk tema-tema Projek Penguatan Profil Pelajar
Pancasila (P5) seperti gaya hidup berkelanjutan, kearifan lokal, dan budaya
gotong royong. Lebih dari itu, saya ingin mengajak para guru di seluruh
Indonesia untuk bergabung dalam gerakan ini: menulis buku dengan muatan lokal
dari daerah masing-masing dan mengintegrasikannya dengan pendekatan teknologi
yang sesuai dengan karakteristik siswa. Inovasi ini tidak hanya akan memperkuat
identitas budaya anak-anak Indonesia, tetapi juga menumbuhkan keterampilan
literasi dan numerasi abad 21 secara kontekstual. Ini bukan kerja individu,
tetapi kerja kolektif gotong royong para guru demi masa depan generasi literat
dan numerat yang mencintai budaya bangsanya serta siap menjawab tantangan
zaman. Saya
berharap pemerintah, lembaga pendidikan, dan pengembang teknologi turut
mendukung gerakan ini. Kita tidak boleh membiarkan generasi muda tumbuh tanpa
mengenal budaya sendiri. Kita juga tidak boleh membiarkan mereka belajar dalam
sistem yang kurang membangkitkan rasa ingin tahu. Literasi dan numerasi bukan
beban yang harus dipaksakan, melainkan jendela yang membuka jalan menuju masa
depan yang lebih baik. Dan buku bukan sekadar tumpukan kata, tetapi jembatan
yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Dengan memadukan kekayaan budaya lokal dan sentuhan
teknologi augmented reality, saya percaya buku bukan lagi sekadar
lembaran-lembaran kata yang harus dibaca, melainkan jembatan untuk merasakan,
memahami, dan menghidupi cerita-cerita dari sekitar kita. Buku itu bisa menjadi
ruang perjumpaan antara masa lalu dan masa depan antara warisan leluhur dan
dunia digital yang tengah dijelajahi anak-anak kita. Sebagai guru, saya tidak
ingin hanya mengajarkan pelajaran lalu pulang. Saya ingin menjadi bagian dari
perjalanan belajar yang bermakna. Saya ingin menyalakan obor kecil di hati
setiap anak, obor yang membuat mereka jatuh cinta pada membaca, senang
berhitung, dan bangga akan asal-usulnya. Saya ingin mereka tersenyum saat
membuka buku, bukan karena dipaksakan, tapi karena mereka penasaran dan merasa dekat.
Saya percaya, pendidikan yang sejati bukan tentang siapa yang paling cepat menghafal. Pendidikan yang sejati adalah ketika seorang anak merasa dihargai, didengarkan, dan diberi ruang untuk tumbuh sesuai dengan jati dirinya. Buku ini hanyalah satu langkah kecil. Tapi saya yakin, dari langkah kecil yang dilakukan bersama, akan lahir perubahan besar. Saya ingin mengajak para guru di seluruh Indonesia mari kita menulis cerita kita sendiri, darimanapun kita berasal. Kita kemas dengan cinta, kita lengkapi dengan teknologi, lalu kita sebarkan sebagai hadiah untuk anak-anak kita. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan soal kurikulum semata. Ia adalah harapan, kasih sayang, gotong royong demi masa depan anak-anak yang tidak hanya pintar, tetapi juga kaya secara rasa dan jiwa.
Posting Komentar