LITERASI MEDIA: JEMBATAN BAGI SISWA UNTUK MENANGKAL HOAX

 


Fenomena sekarang smartphone bukan lagi menjadi barang mewah bagi seluruh lapisan masyarakat. Selain itu juga mengemuka fenomena anak difasilitasi smartphone sehingga orang tua lebih leluasa beraktivitas tanpa perlu selalu mendampingi anaknya. Saat ini perkembangan teknologi informasi sangat cepat, sehingga anak sekarang jauh lebih “sadar teknologi”. Siswa sekolah dasar dapat dengan mudah mengakses aplikasi dalam gadget yang baru didapatinya. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menguasai fitur-fitur gadget tersebut. Apalagi dengan berbagai media sosial seperti whatsapp, facebook, instagram, youtube dan lain sebagainya dengan mudah dapat diakses oleh siswa.

Kehadiran smartphone terutama dengan berbagai media sosial telah memberi banyak perubahan dalam kehidupan bermasyarakat maupun berbangsa. Sebagai konsekuensi dari pesatnya perkembangan smartphone adalah pesatnya arus informasi dan mudahnya menyebarkan informasi dari satu orang ke orang lain melalui media sosial. Perubahan pada  anak-anak perlu perhatian yang lebih besar, mengingat anak usia sekolah dasar maupun madrasah ibtidaiyah, atau di bawahnya masih  membutuhkan pendampingan untuk menyaring informasi secara lebih kritis sedangkan menggunakan smartphone menjadi rutinitas keseharian mereka.

Seperti yang kita ketahui, banyak informasi hoax yang dapat diperoleh dari berbagai macam media khususnya internet. Pada masa sekarang, siswa sekolah dasar sangat familiar dengan internet dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat belajar apapun dari internet. Piaget mengatakan bahwa anak sekolah dasar berada pada tingkat operasional konkert. Pada tingkat operasional konkret (anak usia sekolah dasar) umur (7-11 tahun), mulai mengembangkan kemampuan berpikir beraneka. Kemampuan asimilasi skemanya sudah lebih besar untuk menampung berbagai perbedaan yang dalam suatu koordinasi yang konsisten antar skema. Oleh karena itu, dalam tingkat operasional konkret ini struktur kognitif peserta didik sudah relatif stabil. Sudah mulai dapat berpikir logis. Karena situasi ini, keberadaan informasi bermuatan hoax sangat membahayakan dalam pembentukan karakter dan perkembangan kognitif siswa.

Nashihuddin (2017: 1-2) dalam KBBI dijelaskan bahwa hoax berarti “bohong”; atau tidak sesuai dengan yang sebenarnya.  Makna dari kata “bohong” yaitu perkataan dan perbuatan yang tidak sesuai kenyataan.  Livingstone (2014: 7-8) penggunaan jejaring sosial memiliki implikasi resiko yang berbahaya, yaitu terkena informasi yang bersifat negatif atau terlibat pergaulan yang salah. Oleh karena itu hasil penelitian, Diergarten (2017: 38-39) menjelaskan bahwa setiap anak memiliki perbedaan dalam memahami dan belajar dari media, adanya pendidikan literasi media dalam memandu siswa memiliki kapasitas kognitif untuk dapat memproses pesan yang edukatif. Darwadi (2017: 371) menjelaskan bahwa literasi media sangat penting terutama bagi anak-anak agar mereka memiliki mental budaya yang kuat untuk mencegah diri dari informasi golongan orang-orang yang memilki kepentingan pribadi dengan memanfaatkan informasi hoax. Oleh karena itu sangat penting untuk membuat kajian pelaksanaan literasi media untuk mencegah siswa sekolah dasar terpengaruh informasi hoax.

Porter dalam Kunandar (2014: 89) menjelaskan bahwa literasi media adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif, ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Literasi media berusaha memberikan kesadaran kritis bagi khalayak ketika berhadapan dengan media. Kesadaran kritis ini menjadi kata kunci bagi gerakan literasi media. Literasi media sendiri bertujuan terutama untuk memberikan kesadaran kritis terhadap khalayak sehingga lebih berdaya di hadapan media.

Tujuan literasi media menurut Rahmi (2013: 269) adalah: (1) membantu orang mengembangkan pemahaman yang lebih baik. (2) membantu mereka untuk dapat mengendalikan pengaruh media dalam kehidupan sehari-hari. (3) pengendalian dimulai dengan kemampuan untuk mengetahui bahaya informasi media.  Darwandi (2017: 370 ) menjelaskan, seseorang dapat dikatakan "melek media" jika: a) mampu memilih dan mengklasifikasikan media; b) menyadari bahwa media adalah ruang publik, ekonomi dan sosial budaya; c) menyadari bahwa media tidak memberikan realitas saja; d) penting untuk isi media; e) menyadari masyarakat itu memiliki wewenang dan kewajiban atas isi; f) sadar dengan dampak media sehingga mengidentifikasi hal yang harus dilakukan saat menggunakan media; g) selektif memilih media; h) menggunakan media sesuai dengan tujuan.

Nashihudin (2017: 2) menjelaskan hoax adalah perkataan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Hoax  adalah masalah yang membuat keresahan sosial di masyarakat,  secara luas hoax dapat dengan mudah menyebar ke masyarakat khususnya melalui media sosial, seperti  facebook  twitter, whatsap, instagram dan media sosial lainnya. Rendahnya kesadaran literasi di masyarakat menjadi salah satu faktor pendorong masifnya peredaran kabar bohong atau hoax. Dikutip dari Kompas (19/07/2017) tidak semua orang dapat mengenali informasi yang bersifat fakta atau yang bersifat hoax, keadaan ini disebabkan budaya baca yang rendah, selain itu kebanyakan masyarakat juga kurang peduli pada kredibilitas sumber berita.

Livingston (2016: 4) menjelaskan bahwa berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, usia 7 atau 8 tahun, cenderung memperlakukan apa yang mereka lihat pada media adalah sebagai "kenyataan", atau sebuah "jendela di dunia ".  Sedangkan anak usia 9 sampai dengan 12 tahun mengembangkan kedewasaan kognitif untuk mengenali banyak penggambaran, menilai nyata atau tidaknya, menyenangkan, persuasif atau menyesatkan. Namun pengetahuan  semacam itu dalam menilai kejujuran atau relevansi dari apa yang mereka lihat jauh dari aman, sebagian karena teks televisual seringkali rumit dan sebagian lagi karena menilai informasi yang bersifat fakta membutuhkan pemahaman matang.  Hasil penelitian Kunandar (2014: 97) menjelaskan bahwa potensi konflik yang dapat terjadi pada anak adalah anggapan ia dapat membedakan konten media mana yang baik dan buruk (secara sadar) akan tetapi sesungguhnya, konten yang sensitif  konflik itu menumpuk dalam pemikirannya menjadi pengetahuan kognitif yang mungkin suatu saat akan dilakukannya.

Media bagi masyarakat merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan atau memperoleh suatu informasi. Media sendiri dapat dikategorikan sebagai alat komunikasi yang bersifat persuasif. Sifat persuasif dari media ini ditujukan untuk mengubah sikap, pandangan, atau perilaku yang dimiliki orang lain. Proses dari perubahan sikap, pandangan, atau perilaku diharapkan dapat dilakukan oleh anggota masyarakat dengan kesadaran diri penuh atau dengan sukarela (Abdurrahman, 2001). Bentuk komunikasi persuasif yang diberikan oleh media yang dilakukan secara lisan maupun tertulis dapat digunakan untuk menciptakan suatu opini publik yang mudah dicerna oleh masyarakat.

Adanya sifat persuasif yang dimiliki oleh media tentunya perlu diimbangi dengan kemampuan masyarakat umum yang melek terhadap media dan pesan yang terkandung di dalamnya. Pernyataan ini merujuk pada kemampuan individu dalam suatu aktivitas yang dilakukan secara nyata ketika individu tersebut berhubungan dengan media, yaitu kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mengkonstruksikan kembali informasi yang disajikan oleh media (Tamburaka, 2013). Kemampuan ini menjadi penting bagi masyarakat baik dari kalangan anak-anak sampai kalangan manula untuk sadar dan paham tentang bagaimana cara mencerna informasi yang baik.

Kehadiran literasi media menjadi penting karena literasi media memberikan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan kepada setiap pengguna media. Melalui literasi media, pengguna media dapat memilih dan memilah setiap informasi yang disajikan melalui media sekaligus dapat melatih pengguna untuk berpikir dengan cerdas dan kritis (Wijayani & Priyono, 2017). Literasi media ini juga bermanfaat bagi anak-anak di usia sekolah dasar. Seperti yang diketahui, anak-anak di usia sekolah dasar belum dapat mencerna informasi yang didapatkan secara mendalam karena karakteristik yang mereka miliki yaitu operasional konkret. Periode berpikir anak-anak pada masa operasional konkret masih dalam tahapan menerima informasi secara apa adanya tanpa adanya analisis yang mendalam (Lemis, 2017). Oleh karena itu, literasi media perlu diajarkan bagi anak-anak usia sekolah dasar untuk melatih kemampuan mereka dalam mencerna informasi yang beredar secara luas di dalam kehidupan sehari-hari.

Literasi Media dalam Pendidikan di Sekolah Dasar

Pengawasan terhadap penggunaan media tentunya sangat dibutuhkan karena media merupakan alat yang efektif untuk menyampaikan suatu informasi kepada masyarakat khususnya bagi anak-anak usia sekolah dasar. Media bisa saja memberikan efek yang negatif kepada anak-anak terutama pada aspek pembentukan pola pikir. Adanya efek negatif yang ditimbulkan oleh media menjadikan proses pendidikan di sekolah menjadi sarana penyeimbang dalam rangka melakukan perubahan pola pikir (Rahmi, 2013). Pengelanan literasi dalam proses pendidikan di sekolah dasar dapat dilakukan oleh guru dengan mempertimbangkan beberapa aspek, diantaranya (Ismail, 2011: 33): (1) menetapkan tujuan literasi secara tegas, (2) menetapkan bahan atau materi yang ditayangkan, (3) mengenali karakteristik siswa, (4) kemampuan guru, (5) situasi kelas, (6) kelengkapan fasilitas.

Beberapa aspek yang menjadi pertimbangan menjadi dasar sebelum pengenalan literasi di dalam kurikulum. Tentunya proses pengenalan dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran yang disesuaikan dengan tingkatan atau kelas dari siswa itu sendiri. Makin tinggi kelas siswa, pengenalan dapat dilakukan dengan lebih kompleks sesuai dengan kebutuhan guru dan siswa itu sendiri (Cheung, 2017). Pemanfaatan sekolah sebagai sarana untuk mengembangkan pendidikan literasi media bagi siswa dan guru membutuhkan dasar dan alasan yang kuat. Sekolah sebagai penyalur pendidikan bagi siswa setelah keluarga menjadi salah satu asalan perlu diterapkannya pendidikan literasi media di sekolah (Triyono, 2010).

Implementasi literasi media dalam proses pembelajaran membutuhkan peranan guru sebagai fasilitator dan partner bagi siswa. Siswa sekolah dasar membutuhkan bimbingan dari guru dalam mencerna informasi yang siswa dapatkan di dalam kehidupan sehari-hari. Siswa sekolah dasar akan bertanya kepada guru di sekolah jika anggota keluarga tidak dapat membantu menjawab rasa penarasan mereka terhadap hal-hal baru (Scull dkk, 2017). Layanan implementasi literasi media dalam proses pembelajaran adalah layanan berbentuk partnership. Layanan pendidikan ini membantu siswa untuk menyadarkan, membebaskan, sekaligus mencerahkan informasi yang didapatkan oleh siswa. Layanan partnership ini dilakukan dengan menekankan pola berpikir kritis pada siswa (Triyono, 2010).

Layanan partnership yang diberikan guru bagi siswa akan mempermudah guru sendiri dalam melakukan penyampaian materi tentang literasi media. Suasana yang terbentuk dari adanya layanan partnership ini, siswa tidak akan sungkan untuk bertanya atau melakukan diskusi dengan guru tentang informasi yang didapatkan siswa. Dari diskusi yang dilakukan oleh siswa dan guru, diharapkan konsep ”melek media” yang ditawarkan melalui literasi media dapat diterapkan oleh siswa ketika siswa mendapatkan informasi baru dari berbagai media informasi yang mereka temui (MS, 2017).

Literasi Media Sebagai Jembatan Penangkal Informasi Hoax

Informasi hoax merupakan informasi tidak benar yang beredar di kalangan masyarakat. Informasi hoax ini dapat menjadi informasi yang dipercaya manakala diterima oleh masyarakat yang kurang atau bahkan tidak memiliki pola berpikir yang kritis dalam menerima informasi (Kusuma, 2017). Informasi hoax beredar secara cepat ketika didukung oleh media salah satunya melalui media internet dan media sosial. Rata-rata masyarakat di dunia mengakses internet dan media sosial setiap harinya. Bahkan, anak-anak usia sekolah dasar juga dapat mengakses internet dan media sosial mereka melalui perangkat mobile atau gadget yang mereka miliki karena mereka lahir di era perkembangan teknologi yang pesat (Furió dkk, 2015).

Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, siswa sekolah dasar masih menerima informasi yang didapatkan secara mentah. Kondisi seperti ini memungkinkan siswa menerima informasi hoax dan mempercayainya langsung tanpa disertai dengan analisis yang mendalam (Karuchit, 2016). Adanya literasi media yang diimplementasikan dalam proses pembelajaran dapat meminimalisir tingkat kepercayaan siswa terhadap informasi yang beredar. Agar proses implementasi ini dapat berjalan lancar dan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, guru setidaknya memberikan pengajaran kepada siswa tentang (Media, 2015): (1) penggunaan internet yang baik, (2) privasi dan keamanan dalam mencari dan mengolah informasi, (3) bagaimana mencari hubungan antar informasi dari berbagai informasi yang didapatkan.

Pengajaran kepada siswa tentang literasi media, mampu membantu siswa dalam mengolah berbagai informasi yang didapatkan (Rahmi, 2013). Proses ini tentu saja tidak dapat dilakukan secara instan. Butuh waktu yang tidak sedikit untuk membentuk dan membangun keterampilan dalam mengolah berbagai informasi termasuk dalam mengolah dan menyaring informasi hoax. Pendidikan literasi media yang diimpelementasikan dalam kurikulum dan proses pembelajaran menjadikan siswa sebagai pribadi yang ”melek media” dan mampu untuk menganalisis kebenaran dari berbagai informasi yang mereka terima. Dengan demikian, pola berpikir kritis siswa terhadap informasi dapat terbentuk dan terbawa sampai siswa tersebut tumbuh dewasa (Karuchit, 2016).

Kehadiran literasi media menjadi penting karena memberikan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan kepada setiap pengguna media. Melalui literasi media, pengguna media dapat memilih dan memilah setiap informasi yang disajikan melalui media sekaligus dapat melatih pengguna untuk berpikir dengan cerdas dan kritis. Anak-anak di usia sekolah dasar belum dapat mencerna informasi yang didapatkan secara mendalam karena karakteristik yang mereka miliki yaitu operasional konkret. Periode berpikir anak-anak pada masa operasional konkret masih dalam tahapan menerima informasi secara apa adanya tanpa adanya analisis yang mendalam.

Pengenalan literasi digital mutlak menjadi pertimbangan dasar sebelum pelaksanaan literasi di dalam kurikulum. Proses pengenalan dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran yang disesuaikan dengan tingkatan atau kelas dari siswa. Implementasi literasi media dalam proses pembelajaran membutuhkan peranan guru sebagai fasilitator dan partner bagi siswa. Adanya literasi media yang diimplementasikan dalam proses pembelajaran dapat memberikan keterampilan bagi siswa untuk dapat mengidentifikasi informasi yang bersifat fakta maupun hoax. Guru setidaknya memberikan pengajaran kepada siswa tentang : (1) penggunaan internet yang baik, (2) privasi dan keamanan dalam mencari dan mengolah informasi, (3) bagaimana mencari hubungan antar informasi dari berbagai informasi yang didapatkan. Dengan demikian, pola berpikir kritis siswa terhadap informasi dapat terbentuk dan terbawa sampai siswa tumbuh dewasa. Berdasarkan kajian tentang pentingnya pelaksanaan literasi media di sekolah dasar, diperlukan pengintegrasian literasi media dalam kurikulum pendidikan sehingga dapat dilaksanakan secara optimal dan berkesinambungan.

0/Post a Comment/Comments